Menentifikasi tarian Ema atau
Ugaa lengkap dengan sejarahnya.
Tarian
Emaa atau dikenal juga ugaa adalah nama sebuah tarian adat daerah meuwodide
(Daerah suku Mee/ Paniai). Secara harafia kata emaa atau ugaa diartiakan dalam
bahasa setempat bahwa “E..maa” E.. artinya nada
keheranan dalam bahasa setempat dan “Maa” yang berarti benar atau ya, sedangkan Ugaa yang artinya menunjukan kedengaran
bunyi, namun huruf U dipisahkan dari kata Ga, Ga punya arti tersendiri bahwa
“Ga= Masih ingat”. Maka Emaa atau ugaa adalah tarian yang dilakonkan untuk
menyatakan sesuatu yang mengherankan sebab kenyataan peristiwa tersebut
benar-benar telah terjadi yang mana medentifikasi lewat bunyi yanyian dengan
kata-kata yang menyingkapkan seluruh makna, tujuan dan harapan.
Emaa
atau Ugaa adalah salah satu tarian adat suku MEE dari semua tarian adat
MEE. Tarian ini merupakan tarian pavorit
bagi masyarak Mee. Melalui tarian ini masyarakat Meepago biasanya mengunggapkan suasana batin baik
suasana gembira, syukur, pujian, sukacita, marah, benci, maupun suasana
dukacita.
Menurut
cerita, emaa ada dua jenis yakni ada matobeu (Tanpa Judul) sedankan yang lain
matohago (dengan judul) atau yang artinya, nyanyian yang satu dinyanyikan tanpa
judul sedangkan yang lain nyanyikan berdasarkan sebuah judul yang jelas.
Katanya yang nyanyian yang tanpa judul diadopsi nyanyian Himihoo (suanggi),
sedangkan nyanyian yang punya judul adalah nyanyian asli suku setempat.
Sebelum
diadopsi tarian Ema mato beu, hanya ada ema Mato hago. Ema yang asli ini
sebenarnya leluhur nyanyikan di dalam rumah kamar laki-laki. Dulu di kamar
laki-laki Mee, ada tempat “berema” di
seberang tunggu api, sehingga di masyrakat Mee ada istilah “emagee” sebutan
ruangan laki-laki yang tidak boleh perempuan memasukinya. Namun sesuadah
diadopsi ema mato beu ema di nyanyikan di pondok tersendiri, yaitu dikenal
dengan Ema Owa.
Tarian
emaa ketika dilakonkan disertai dengan nyanyian. Nyanyian tersebut tidak
pisahkan dari tarian itu sendiri. dalam tarian tersebut jika dua nyanyian yang
dibawakan dijedahkan dengan huu (teriak-teriak di tempat sambil lompat-lompat
dengan tumit tidak angkat dari lantai). Huu mirip dengan waita. Perbedaannya
waita dilakukan ketika ada acra-acara besar sedangkan Huu dilakukan ketika
pikul sesuatu benda yang berat seperti babi, kayu, dan juga dilakukan ketika
gotong-royong, berhasil dalam suatu pekerjaan umum seperti berhasil hasil
kebun, ternak dan juga ketika melakukan suatu pekerjaan yang diannggap tidak
bisa dikerjakan namun dikerjakan bersama.
Emaa
bukan suatu tarian semata melaikan sebuah tarian yang dilakukan puncak suatu
pesta huwoo. Huwoo adalah nama sebuah pesta persaudaran dan kekeluargaan. Pesta
tersebut dilakukan oleh orang-orang kaya (punya isti lebih dari tiga, babi 60an
ekor lebih, punya mege(uang) banyak makanan berlimpah atau dikenal dengan
Tonowi. Pesta ini boleh dikatakan pesta potong babi karena dalam perta tersebut
pemimpin pesta bersama warga sekampung wajib potong babi lebih dari lima ekor
babi setiap rumah sedangkan tonowi/pemilik pesta, harus potong lebih dari tiga puluh ekor babi.
Ketika
persiapan pesta tersebut, warga setempat bersama tonowi mesti siapkam tempat
khusus untuk membagun persaudaraan. Tempat tersebut, berupa rumah panggung atau
para-para. Tempat tersebut dibuat dari sejenis kayu, yakni kayu onage. Tempat
itu, tempat untuk menari dan bernyanyi untuk mengunggapkan isi hati dan tujuan
dan harapan setiap delegasi undangan tersebut. Tamu undangan yang datang mereka
sampaikan tujuan mereka, yaitu tentang rasa cinta kaum muda, sedih bagi mereka
yang kehilangan seseorang, gembira bagi yang meramaikan pesta tersebut ada pula
yang sykur atas keberhasilah, seperti keberkasilan dalam perkebunan, peternakan
atau kemenangan dalam perang suku. Tempat serta tari dan nyanyi tersebut di
kenal dengan sebutan umum Emaa.
Pesta
Emaa bukan berpuncak pada hari penyelenggara tetapi untuk mengahiri pesta
tersebut dilakukan sesudah sekian tahun kemudia, yaitu ketika mencabut dan
membakar tiang utama rumah tari (Emawa). Ketika mencabut dan bakar tiang
tersebut pula harus dengan diselenggarakan dengan tarian Ema atau yang dikenal
dalam bahasa Mee “Takamaa Badiihou nago”.
“Bangsa yang besar
adalah bangsa yang mencintai budayanya. Saya sebagi anak budaya punya kewajiban untuk meperkenalkan budaya
yang diwariskan oleh leluhurku. Saya sebagai anak Papua punya kewajiban untuk
melestarikan tradisi dan budaya bangsa Papua yang diwarikan nenek moyang saya;
dan punya kewajiban mengupayakan untuk mempertahankan integritas budaya bansa
Papua.
Mari…! Generasi
muda bergandeng tangan bersatu hati untuk bersama mengangkat dan melestarikan
serta memperkenalkan budaya kita kepada dunia internasional mulai dari teman
terdekat kita agar identitas dan integritas kita tetap utuh, mutuh dan murnih”! (Petrus O. Boga)
Oleh: Petrus Boga
Tarian
Emaa atau dikenal juga ugaa adalah sebutan nama sebuah tarian adat daerah
meuwodide (Daerah suku Mee/ Paniai). Secara harafia kata emaa atau ugaa
diartiakan dalam bahasa setempat bahwa “E..maa” E.. artinya nada keheranan dalam bahasa setempat dan
“Maa” yang berarti benar atau ya,
sedangkan Ugaa yang artinya menunjukan kedengaran bunyi, namun huruf U
dipisahkan dari kata Gaa, Gaa punya arti tersendiri bahwa “Gaa” artinya “Masih
ingat”. Maka Emaa atau ugaa adalah tarian yang dilakonkan untuk menyatakan dan
mengunggapkan sesuatu yang mengherankan sebab, kenyataan suatu peristiwa
tersebut benar-benar telah terjadi yang mana mengidentifikasi lewat bunyi
nyanyian yang dinyanyikan dengan kata-kata yang menyingkapkan seluruh makna,
tujuan dan harapan berdasarkan isi suara hati dari lubuk hati sang penyair
tersebut.
Tarian
ini merupakan tarian pavorit bagi masyarak Mee. Melalui tarian ini
masyarakat Meepago biasanya mengunggapkan suasana batin baik
suasana gembira, syukur, pujian, sukacita, marah, benci, maupun suasana
dukacita.
Oleh
karena itu, siswa Teruna bakti yang berasal dari Meepago/ MEE Paniai,
mengunggapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, sumber cinta dan kasih
serta segala kebaikan-Nya, selama perkembangan
eksistensi masyarakat adat Papua proto teristimewa bimbingan dan
pertolongan-Nya selama 45 tahun SMA YPPK Teruna Bakti. Mereka juga mengunggapka
doa dan syukur untuk mengenang jasa para misionaris yang telah relah berjuang
denagn semangat menghadapi, menerima, menyikapi seluru tantangan dengan
kesabaran penuh bertanggung jawab yang mana perjuangannya kini telah menjadi
melodi prahara.
Mari
menyaksikan….!
TERIMA KASIH POSTTINGGANNYA
BalasHapusSangat bermanfaat bto....!!!